Karena alasan “kegentingan yang memaksa” yang digunakan sebagai alasan prosedural Pemerintah dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja itu, merupakan wewenang Presiden
Dan dalam hukum tata negara, “Kegentingan yang memaksa” tersebut merupakan hak subjektif Presiden untuk menginterpretasikan dan menyatakannya.
“Tidak ada yang membantah sekalipun ahli hukum tata negara, bahwa itu iya membuat perppu itu alasan kegentingan berdasarkan penilaian presiden saja,” ujar Mahfud.
Menerbitkan Perppu merupakan wewenang Presiden seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 ayat (1), yang berbunyi:
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”
Kewenangan ini dikuatkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan :
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam bocoran slot gacor hal ihwal kegentingan yang memaksa”
Dari dua aturan tersebut dapat disimpulkan bahwa betul kewenangan membuat Perppu tersebut ada ditangan Presiden, tapi harus dalam keadaan tertentu, yaitu Kegentingan yang Memaksa.
Lantas atas dasar apa penetapan situasi “kegentingan yang memaksa” ini, merujuk pada kedua undang-undang tadi dan diamini oleh sebagian besar ahli hukum tata negara, Kegentingan yang memaksa dinterpretasikan berdasarkan subjektifitas Presiden.
Meskipun dalam praktiknya tak akan absolut seperti itu, karena sebelum Perppu itu diterbitkan, Pemerintah akan terlebih dahulu melakukan komunikasi dengan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Demikianlah sedikit informasi dari kisah omjay hari ini. Semoga bermanfaat buat pembaca kompasiana. Ini dari sebuah kemajuan teknologi adalah kita harus mampu beradaptasi dengannya. Manfaatkan teknologi yang ada untuk membuat manusia semakin pintar dan dapat mencerdaskan orang lain. Jangan gunakan teknologi untuk kejahatan di dunia maya.
Namun demikian, ada pendapat lain yang menyebutkan penerbitan Perppu ini harus berdasarkan ukuran objektif. Dan yang menjadi parameter objektifitas bagi presiden untuk menetapkan kondisi “Kegentingan yang Memaksa” adalah Putusan MK/ Nomor 138/PUU-VII/2009., yaitu :
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam konteks, Perppu Cipta Kerja faktanya “Kegentingan yang memaksa” itu ada, situasi perekonomian global pada tahun 2023 diproyeksikan memang tidak akan baik-baik saja. Ancaman resesi diiringi pertumbuhan ekonomi yang mandeg, dengan imbuhan inflasi yang meroket atau stagflasi memang nyata adanya.